Rabu, 16 Desember 2009

Essai Kehidupan (7): Benci


ImageKualitas hidup terkadang bisa dilihat dari bagaimana cara kita mengelola masa lalu. Setiap orang pasti punya masa lalu. Ada masa lalu yang indah lagi menyenangkan. Namun, banyak juga yang mempunyai masa lalu yang penuh penderitaan dan kegetiran. Pahit. Menyakitkan. Dengan alasan terakhir inilah, tak jarang orang yang masih hidup dalam kegelapan masa lalunya.
Kemana – mana terbawa, seperti kura – kura selalu membawa rumahnya. Tak mau hilang dari hati. Nempel terus. Salah satu bentuk penjajahan masa lalu, pada setiap diri, adalah rasa benci. Kebencian adalah salah satu bentuk reaksi dari ketidakpuasan diri. Dalam pergaulan kita mengenal istilah benci tapi rindu. Itulah bibit kebinasaan. Ia bisa menjelma menjadi monster yang mengerikan, jika kebencian hinggap di dalam kehidupan ini, dan tidak terkendali sejak dini.

Ketika jaman reformasi bergulir, setelah berhasil menggulingkan rezim orba, seorang kawan bekas tapol di zaman Orde Baru mengunjungi rekannya sesama eks tapol. Dengan antusias si kawan bertanya, ''Apakah kamu sudah melupakan rezim Orde Baru?'' Dengan sigap rekannya menjawab, ''Ya, sudah. Saya sudah melupakan semua kekejaman orba''. Si kawan kemudian berkata, ''Saya belum. Saya masih sangat membenci mereka. Susah untuk menghilangkannya''. Si rekan itu tertawa kecil sambil berkata, ''Kalau begitu, mereka masih memenjara dirimu.''

Rekan itu benar, kebencian bisa memenjarakan seseorang lebih dari sekedar penjara – penjara nyata di dunia. Kebencian bisa mengurung seseorang dalam koridor maya sebuah kegelapan. Karena kebencian menutup segala cahaya kebaikan. Bahkan kebencian menghasilkan berbagai produk kejahatan yang turun – temurun dan beranak - pinak tak karuan. Hanya karena rasa benci yang tak mau pergi dari hati. Hanya karena rasa benci yang terus menyelimuti hati. Oleh karena itu, Nabi SAW selalu mengingatkan kita untuk hati – hati dengan masalah benci ini. Walaa tahaasaduu, walaa tabaghodhuu, walaa tadaabaruu wakuunuu ‘ibadalloohi ikhwanan – jangan saling dengki, jangan saling marah, dan jangan saling benci kalian - jadilah hamba – hamba Allah yang bersaudara (Rowahu Bukhory Fii Kitaabul Adab dari Abu Huroiroh).

Kebencian bisa terus berkembang, dari waktu ke waktu, dari hari ke hari. Bertambah dan bertambah. Tengoklah sejarah, di sana sudah tertulis banyak sekali catatan tentang kebencian yang beranak pinak, dan kemudian menghasilkan kehidupan yang mengerikan. Pengkhianatan, pembunuhan dan peperangan. Selain memenjarakan, kebencian bisa memproduksi masa depan yang amat menakutkan. Kebencian itu membutakan. Bukan benci tapi rindu lagi seperti sejoli yang kasmaran, namun benci kepati – pati. Turun pitu.

Dalam hal lain, kebencian berkembang mirip dengan sebuah cerita Zen berikut ini. Ada dua orang pendeta, yang satu muda dan satunya lagi sudah tua, mau berenang menyeberangi sungai. Tiba-tiba ada wanita cantik yang berteriak di belakang minta digendong untuk diseberangkan. Karena alasan senioritas, maka pendeta yang lebih tuapun menyanggupinya. Dua jam setelah kejadian itu berlalu, pendeta yang lebih muda protes: ‘Kenapa Kakak sebagai pendeta mau menggendong wanita cantik tadi ?’. Dengan sedikit kesal pendeta tua berucap : ‘Saya sudah menurunkan tubuh wanita tadi dua jam yang lalu, namun kamu masih menggendongnya sampai sekarang’.

Kebencian tiada habisnya. Ia bisa merambat dari waktu ke waktu. Ia bisa bersembunyi di sela – sela urat nadi. Rapi, sehingga susah dideteksi. Ia terselip di antara rongga – rongga lentik hati. Tersamar dan menyambar ketika ada kesempatan. Ia adalah produk masa lalu. Kebencian tak berujung. Kecuali kita memberangusnya. Memutus mata – rantainya. Merelakan masa lalu sebagai bagian hidup yang harus ditanggalkan, sehingga tidak mempengaruhi hidup kita kini dan ke depan. Ingatlah petuah Imam Ghozali kepada murid - muridnya, "Apa yang menurut kalian paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab negari Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Cina, bulan, matahari dan bintang adalah tempat-tempat yang memang sangat jauh, namun tetap dapat dilihat dan dicapai. Sedangkan masa lalu, bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Masa lalu adalah hal yang letaknya jauh, tetapi banyak diantara kita masih tetap berusaha mendekatinya lewat rasa benci.

Demikianlah cara kerja kebencian. Oleh karena sebuah atau beberapa kejadian yang sudah lewat di masa lalu – sebagian bahkan sudah lewat ratusan tahun yang lalu – sebagian orang menggendong kebencian bahkan sampai mati. Sehingga praktis seumur hidup orang-orang seperti itu isi waktunya hanya kebencian, kebencian dan hanya kebencian. Anda pasti sudah tahu sendiri akibat yang ditimbulkan oleh semua itu. Jangankan doa dan perjalanan menuju Tuhan, tubuh dan jiwanya sendiri pasti dikunjungi berbagai macam penyakit. Aneh, misterius dan kronis. Karena sumbernya sudah jelas: hati yang diliputi rasa benci.

Ayo hilangkan kebencian dari hati, kecuali benci keluar dari quran hadits seperti benci kita jika masuk ke dalam neraka. Akur,,,?
oleh: Faizunal Abdillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar